Menjaga Api Semangat: Menemukan Kembali Makna Perjuangan
Oleh: Sylvia Kurnia Ritonga, Lc., M.Sy (Mudirah Ma’had Al-Jami’ah UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
Dalam diri setiap manusia, Allah menyalakan api kecil bernama semangat. Api itu tidak tampak oleh mata, tetapi terasa dalam setiap gerak langkah. Ia yang mendorong seseorang untuk bangun saat jatuh, bertahan ketika keadaan sulit, dan tersenyum meski hati sedang letih. Semangat adalah karunia yang halus, tetapi menentukan arah hidup. Tanpa semangat, langkah manusia terhenti, pikiran menjadi beku, dan hati kehilangan makna perjuangan. Dengan semangat, manusia bisa menembus keterbatasan, melampaui kesulitan, dan menjelma menjadi sosok yang berdaya. Namun, sebagaimana api di dunia, semangat juga bisa padam. Ia dapat meredup oleh ujian yang berat, tertiup oleh rasa lelah, bahkan padam karena hilangnya keyakinan pada makna hidup. Maka, tugas terbesar setiap insan beriman adalah menjaga nyala api semangat agar tetap hidup, agar tidak membeku di tengah derasnya kehidupan yang terus menguji.
Beberapa waktu yang lalu, saya menerima kunjungan seorang mahasantriah bersama ayahnya di kantor Ma’had. Sang ayah datang dengan wajah yang tenang namun mata yang menyimpan ribuan harapan. Suaranya bergetar ketika berkata, “Bu, saya hanya ingin anak saya satu ini menyelesaikan kuliahnya. Biar satu saja dari keluarga kami yang bisa lulus dan memakai toga.” Kata-kata itu sederhana, tapi sarat makna. Di dalamnya ada cinta seorang ayah, ada kerja keras yang panjang, ada keringat yang menjadi doa, dan ada harapan yang menumpang di pundak anaknya. Namun di hadapan saya, anak itu terlihat telah kehilangan cahayanya. Wajahnya kosong, sorot matanya redup, dan dari suaranya yang lemah saya tahu: semangatnya telah padam. Kami berbicara lama, mencoba menyalakan kembali bara yang tersisa, tapi ternyata api itu sudah dingin. Tak ada percikan yang bisa ditiup untuk hidup lagi. Sang ayah tertunduk, diam dalam kecewa yang tak terucap. Ia tak marah, hanya menatap anaknya dengan pandangan penuh harap yang patah. Saat itu, suasana hening di ruangan terasa seperti cermin — betapa rapuhnya semangat manusia ketika tidak dijaga.
Sejak peristiwa itu, saya merenung lama. Betapa banyak di antara kita yang kehilangan semangat bukan karena kekurangan kemampuan, tetapi karena kelelahan yang tak disandarkan kepada Allah. Banyak yang menyerah bukan karena jalan yang terlalu berat, melainkan karena lupa tujuan di balik perjalanan. Semangat sejatinya adalah seperti air. Air yang mengalir tidak pernah takut menghadapi batu. Ia menembus celah, melewati rintangan, bahkan memahat tebing demi mencapai laut. Air yang mengalir tak pernah berhenti karena ia tahu: tujuannya adalah samudra. Namun, air yang diam akan membusuk. Ia akan berbau, menjadi sarang penyakit, kehilangan kejernihan dan manfaat. Begitu pula manusia. Selama kita bergerak, belajar, dan berjuang, kita hidup. Tetapi ketika kita berhenti — berhenti belajar, berhenti berusaha, berhenti berdoa — saat itulah kita mulai membusuk secara ruhani. Hidup yang diam, sejatinya mati sebelum waktunya.
Sering kali kita mengeluh, “Saya lelah, Bu. Saya capek dengan semua ini.” Tetapi siapa yang tidak lelah di dunia ini? Tidak ada satu pun manusia yang tidak lelah. Ustadz dan ustadzah pembina lelah mendampingi mahasantri/ah setiap hari, menyiapkan materi, mengatur kegiatan, dan tetap tersenyum meski hati kadang jenuh. Abang musyrif dan kakak musyrifah lelah menjaga disiplin, memastikan jadwal berjalan, menegur dengan sabar, dan menjadi teladan tanpa pamrih. Mahasantri dan mahasantriah pun lelah belajar, membaca, menghafal, menulis, bangun pagi, dan menyesuaikan diri dengan kehidupan asrama yang ketat. Bahkan saya sendiri, sebagai mudīrah, pun sering merasa lelah — bukan karena beratnya pekerjaan, tapi karena beratnya tanggung jawab menjaga semangat ribuan jiwa muda agar tidak padam di tengah perjalanan. Namun, lelah yang dijalani karena Allah bukan kelemahan, tetapi kemuliaan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya pahala itu sebanding dengan besarnya ujian.” (HR. Tirmidzi). Maka tidak perlu takut lelah. Sebab, setiap tetes peluh yang keluar karena menuntut ilmu, mendidik, membimbing, atau memperjuangkan kebaikan, akan berubah menjadi cahaya yang menerangi langkah di akhirat kelak. Istirahat sejati bukan di dunia ini, tapi di saat Allah mempersilakan kita masuk ke dalam surga-Nya dengan panggilan lembut, “Masuklah engkau ke dalam surga-Ku, wahai jiwa yang tenang.” Tahanlah sedikit lagi. Karena di balik rasa capek belajar yang sebentar, ada manisnya ilmu yang akan kau rasakan seumur hidupmu.
Kepada para ustadz dan ustadzah pembina (muwajjih dan muwajjihah), izinkan saya menulis sepatah kata penghargaan. Engkaulah penjaga api semangat di Ma’had ini. Tugasmu bukan sekadar mengajar, melainkan menghidupkan ruh dalam setiap jiwa muda yang kau temui. Engkau datang bukan sekadar memberi nasihat, tetapi menanamkan nilai. Setiap kali engkau mengingatkan tentang disiplin, tentang shalat berjamaah, tentang adab menuntut ilmu — engkau sebenarnya sedang meniup bara semangat di dada mereka. Kadang engkau merasa lelah, mungkin juga merasa tidak dihargai. Tapi ketahuilah: setiap ucapan yang tulus, setiap kesabaran yang engkau berikan, dicatat oleh Allah. Tidak ada kebaikan yang hilang. Engkau bukan hanya pengajar, engkau adalah murabbi — pembentuk jiwa dan penuntun hati. Ma’had ini hidup karena ketulusanmu. Engkau adalah lentera yang menjaga agar tempat ini tetap terang, meski angin dunia berhembus kencang dari segala arah.
Kepada kakak-abang musyrif dan musyrifah, kalian adalah tulang punggung kehidupan asrama. Kalian bukan sekadar pengatur jadwal, pengingat aturan, atau pengawas kegiatan. Kalian adalah contoh nyata bagaimana kedisiplinan bisa berjalan berdampingan dengan kasih sayang. Kalian memikul tanggung jawab besar: menjadi sahabat bagi adik-adik mahasantri sekaligus penguat bagi para pembina. Kadang kalian lelah, waktu pribadi berkurang, dan sering kali harus menahan diri agar tetap sabar menghadapi berbagai karakter penghuni asrama. Tapi percayalah, inilah madrasah kehidupan yang sesungguhnya. Di sinilah kalian belajar kepemimpinan sejati — bukan dengan kekuasaan, tapi dengan keteladanan. Kalian belajar menegur dengan hikmah, menuntun dengan kelembutan, dan menjadi jembatan antara harapan dan kenyataan. Pengalaman ini akan menjadi bekal berharga dalam hidup kalian kelak. Ketika nanti kalian berada di tengah masyarakat, kalian akan menyadari bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang memerintah, tetapi tentang melayani dengan cinta.
Dan kepada kalian, anak-anakku mahasantri dan mahasantriah tercinta. Kalian adalah nadi kehidupan Ma’had ini. Setiap langkah kalian di koridor asrama, setiap suara tilawah di masjid dan di asrama, setiap tawa dan diskusi di ruang belajar — semuanya adalah tanda bahwa Ma’had masih hidup dan berdenyut dengan ruh ilmu. Kalian datang ke Ma’had bukan karena kebetulan. Allah memilih kalian di antara ribuan mahasiswa lain untuk tinggal di tempat ini, tempat di mana ilmu tidak hanya diajarkan tetapi juga dihidupi. Mungkin awalnya kalian merasa berat. Rutinitas padat, aturan ketat, hafalan yang menuntut, dan tanggung jawab akademik yang tak pernah berhenti. Tapi percayalah, semua itu adalah bagian dari tarbiyah Allah agar kalian kuat. Di luar sana, kehidupan jauh lebih keras dan tanpa bimbingan. Tidak ada yang akan menegur ketika kalian lalai, tidak ada yang akan mengingatkan ketika kalian jauh dari ibadah. Maka bersyukurlah karena Allah masih mengizinkan kalian hidup di lingkungan yang menuntun jiwa dan akal sekaligus.
Semangat adalah amanah dari Allah. Ia bukan sekadar dorongan psikologis yang datang dan pergi, melainkan titipan Ilahi yang harus dijaga. Jika kalian kehilangan semangat, jangan mencarinya di dunia, carilah di dalam sujud. Ambillah wudhu, duduklah di hadapan mushaf, dan resapilah firman-Nya. Kalian akan menemukan bahwa sumber semangat sejati adalah cinta kepada Allah. Pujian manusia tidak akan menghidupkan semangat, karena pujian bisa lenyap. Tetapi cinta kepada Allah akan menyalakan api yang tak padam, bahkan ketika dunia meredup. Dan jika kalian merasa bara semangat telah padam, tiup kembali dengan dzikir dan doa. Ingatlah wajah orang tua yang menanti kabar baik dari kalian. Ingatlah mimpi yang dulu membuat kalian bangga mengenakan almamater. Ingatlah janji kepada diri sendiri untuk menjadi insan yang bermanfaat. Semangat yang padam bukan hilang, hanya tertimbun oleh debu dunia. Bersihkanlah dengan doa, dan ia akan menyala kembali.
Ma’had ini ibarat sungai yang mengalir. Di hulunya ada para muwajjih dan muwajjihah yang mengatur arah aliran ilmu dan nilai. Di tengahnya ada para musyrif dan musyrifah yang menjaga aliran itu tetap jernih, agar tidak tercemar oleh kelalaian. Dan di hilirnya, mengalirlah para mahasantri dan mahasantriah menuju laut cita-cita — laut ilmu, amal, dan ridha Allah Ta‘ala. Kita semua adalah bagian dari aliran itu. Maka jangan menjadi batu yang menghambat. Jadilah air yang mengalir lembut namun kuat, yang terus bergerak meski harus memutar arah, yang tidak berhenti walau harus menembus karang. Karena yang membuat air sampai ke laut bukan kekuatannya, tetapi ketekunannya untuk terus mengalir.
Maka wahai keluarga besar Ma’had Al-Jāmi‘ah — ustadz, ustadzah, musyrif, musyrifah, dan seluruh mahasantri/ah — mari kita rawat api semangat itu bersama. Jangan biarkan lelah memadamkan harapan. Jangan biarkan keraguan menghapus cita-cita. Lelahmu adalah ibadah, air matamu adalah tanda cinta, dan perjuanganmu adalah jalan menuju surga. Saat engkau merasa rapuh, ingatlah bahwa Allah tidak pernah meninggalkanmu. Ia hanya ingin melihat sejauh mana engkau mau bertahan dalam kebaikan. Karena sesungguhnya, titik tertinggi dalam perjalanan ilmu bukanlah ketika engkau tahu banyak, tapi ketika engkau tidak berhenti berjuang. Dan kelak, ketika engkau berdiri di puncak keberhasilan — di podium wisuda, di mimbar ilmu, atau di tengah masyarakat yang kau layani — engkau akan menoleh ke belakang dan tersenyum sambil berbisik, “Inilah hasil dari semangat yang tidak padam.” Karena sejatinya, kesuksesan bukan milik mereka yang paling cerdas, tetapi milik mereka yang paling tekun menjaga api semangatnya tetap hidup hingga akhir.
4 Comments